Terlihat begitu mendung bagai mau hujan, wajah seorang anak yang pada saat itu telah selesai memotong rambutnya di Yayasan Pemotongan Massal Rambut. Entah karena sebab apa Ia terlihat begitu. Namun, setelah diadakan Interview/wawancara kepadanya, ternyata Ia tidak rela rambutnya di potong ala ABRI seperti diatas. Ia bersikeras menghindar sebelumnya agar tidak sampai sedikit pun rambutnya terpotong.
Disetiap tempat Ia bersinggah, Ia selalu mendemonsrasikan kalimat “Rambut adalah Mahkota yang indah di atas mahkota-mahkota kerajaan yang ada di dunia”. Tidak habis pikir memang. Ternyata masih banyak orang disekeliling kita menganut paham seperti itu. Dan perlu diingat, yang namanya Rambut walaupun sudah di potong plontos, cepak, pendek, pasti bakalan tumbuh kembali seperti semula. Lucu ya….


Ini kantor atau pesantren?
Tanya seorang teman, yang datang bertamu ke sebuah kantor pada waktu sesaat setelah makan siang, dimana dia melihat suasana yang begitu indah.

Tentu itu pertanyaan diatas ngasal saja, karena teman tersebut belum pernah ’nyantri’ secara formal sehingga tidak tahu suasana sebenarnya di pesantren, kecuali pernah beberapa kali berkunjung ke sebuah ’pesantren virtual’ di Bandung. Namun suasananya memang jelas tertangkap, berbondong-bondong yang perempuan, semuanya berhijab, mereka menenteng mukena sambil sesekali bercanda. Yang lelaki bergerombol pula, wajahnya teduh tanda selesai berwudhu dan selesai ibadah berjamaah, sebagian membawa mushaf di tangannya, sebagian mengobrol saling bersahutan membicarakan isi tausiyah ustadz saat ta’lim barusan.

Siang itu, jamaah tersebut baru bubar dari sebuah ta’lim akbar.
Seandainya kawan ini datang beberapa bulan setelahnya, warna beragama ini berlipat 10 karena memasuki bulan Ramadhan.

Begitu pula terbitnya Islam dari tempat yang paling tak terduga, saat ini menjadi suatu fenomena yang gejalanya mulai jamak. Gejala ini muncul bersamaan, misalnya kesadaran berIslam dengan benar saat ini mungkin tidak terjadi di negara-negara Arab yang notabene tempat lahir agama terakhir. Islam menguat di Indonesia yang dakwahnya justru mendapat banyak tekanan selama lebih dari 3 dasawarsa, atau justru menguat di Eropa, tempat kantung agama Kristiani. Di Belgia, sudah hampir sama jumlah orang bernama depan Muhammad atau Ahmad dibanding James atau Smith atau John atau David. Dan InsyaAllah pada tahun 2020, Eropa akan lebih didominasi Muslim.

Islam juga tumbuh subur di berbagai masjid kampus biasa yang mungkin berstempel ’sekuler’, bukan lagi di UIN (dulu IAIN) yang kurikulumnya justru ditunggangi dengan terang-terangan oleh orientalis-liberalis yang malah menjauhkan mahasiswanya dari Islam. Kampus-kampus ”biasa” itu melahirkan militan-militan dakwah yang akhirnya membawa bendera kebangkitan Islam masuk ke berbagai sendi hidup negara ini.

Islam juga menjadi gaya hidup dan nge-trend justru di perusahaan-perusahaan swasta nasional atau asing, atau BUMN, bukan di Departemen Agama yang mestinya menjadi tempat orang paling shalih. Departemen ini tercatat sebagai institusi ke-2 paling korup dibawah departemen satu lagi yang mengurus pendidikan ! Sementara di perusahaan yang terlihat sangat modern tadi, syariat malah dijalankan, spiritualisme kerja diagungkan, zakat disalurkan, shalat berjamaah digalakkan, ta’lim dirutinkan. Subhanallah.

Di negeri ini, dulu orang berIslam di pojokan, mushalla berada di basement dan tempat paling dasar dari bangunan, karyawan malu-malu berjilbab dan pergi ke pengajian.

Sekarang ? Mari mensyukuri trend Santri Berdasi. Profesional yang bangga berIslam. Orang-orang cerdas dan pandai dengan daya rubah besar, baik di lingkungan kantor, keluarga dan organisasi. Mereka menggerakkan dakwah, logis, bergelombang begitu indah. Tidak kolot dan bau. Sebaliknya mereka wangi, ganteng dan ayu.

Santri yang menghapus dikotomi ibadah ritual dan profesional. Mereka jujur dalam puasa, dan jujur dalam transaksi bisnis. Mereka sayangi anak yatim, sama sayangnya terhadap tim sales force yang ia pimpin.

Santri engineer yang membawa Mushaf Quran di dalam tas laptop mereka, mereka membacanya menjelang rapat dimulai atau di saat utama waktu dhuha. Mereka letakkan tafsir Ibnu Katsir di meja kerja, diaksesnya setiap ada kesempatan. Finance executive yang mereview laporan keuangan dan mengambil keputusan sambil mendengarkan muratal atau nasyid yang menyejukkan.

Hatinya mengglobal, menyatu bersama saudaranya di seluruh dunia. Perasaan satu iman ini memicu koneksi melebihi kecepatan ultrahighspeed broadband, sehingga ketika harus keluar harta terbaik dari sakunya untuk saudara-saudaranya yang tertindas di bumi Aceh dan Ambon hingga Palestine, Chechnya ataupun Kashmir, reaksinya sangat cepat. Tersentuh ketika saudaranya di Irak dan Afghanistan ditindas. Gembira ketika sekularisme tumbang di Turki.

Di satu titik pertemuan, mereka membaca, menghafal dan mengkaji Quran bersama-sama. Membagi dan mengkaji ilmu dalam sebuah lingkaran. Berbagi berita dakwah, saling mengingatkan, sering berbagi ilmu tentang islam melalui obrolan dunia maya seperti forum milist, YM ataupun Blog. Mereka saling menguatkan dalam kebenaran, kesabaran dan kasih sayang.

Mereka menegakkan syariat di dalam perusahaan dalam disiplin masing-masing dan dengan bangga bercampur tawaddu’ mengatakan ”Yes, I am a Muslim”. Dan mereka berusaha menjadi profesional muslim dan muslim yang profesional dibidangnya.


Apa itu konsumtivisme?

Konsumtivisme memiliki dua akar kata yaitu “konsumtif” dan “isme”. Konsumtif adalah kata sifat yang memiliki kata dasar “consumptus” (Latin), “consume” (Ingg.), konsumsi (Ind.). Dengan demikian kata konsumtif berarti sifat mengkonsumsi, memakai, menggunakan, menghabiskan sesuatu. Sangat menarik, dalam bahasa inggris kata “konsumtif” digunakan untuk menyatakan penggunaan sesuatu hal dengan berlebih-lebihan, memboroskan, obsesif, dan rakus. Bahkan kata ini juga digunakan bagi orang yang terkena TBC di paru-paru. “Konsumtif” bisa digunakan untuk penggunaan kepada uang, waktu, atau energi dengan berlebihan dan destruktif. Jika demikian maka konsumtivisme adalah sebuah pandangan hidup, gaya hidup, ajaran, sikap atau falsafah hidup yang memakai, mengkonsumsi, menggunakan, menghabiskan sesuatu dengan berlebih-lebihan, memboroskan sesuatu.

Manusia memang “konsumtif”

Namun rasanya tidak adil dan amat naif jika kita hanya berhenti mengartikan kata “konsumtif” hanya demikian saja, karena menurut saya manusia memang “konsumtif”. Kok bisa? Maksud saya bukankah memang ada sifat mengkonsumsi sesuatu dalam kehidupan kita. Saat ini saudara-saudara sedang mengkonsumsi waktu dan energi saudara untuk mendengarkan saya berbicara. Tadi kita mengkonsumsi makanan. Kita juga menggunakan Villa tempat kita retreat ini untuk berteduh, beristirahat. Setiap waktu kita pasti mengkonsumsi, menggunakan, memakai sesuatu. Kita memakai atau menggunakan, atau mengkonsumsi sesuatu karena kebutuhan-kebutuhan. Jika demikian tidak salah jika dikatakan manusia memang “konsumtif” dalam pengetian ia memiliki kebutuhan untuk memakai atau
menggunakan sesuatu. Di sini kita ingat kata konsumen. Kita menjadi konsumen ketika kita membeli barang atau jasa sesuai dengan kebutuhan kita dari produsen yang memang menyediakan barang atau jasa yang kita butuhkan. Semenjak kecil sampai sekarang kita merasakan menjadi konsumen.

Konsumtif menjadi gaya hidup (konsumtivisme)

Pemahaman dan fakta bahwa kita telah menjadi konsumen semenjak kecil sampai sekarang, dan memang kita “konsumtif” dalam pengertian kita memakai, menggunakan sesuatu seturut dengan kebutuhan kita ini penting dalam pembahasan kita mengenai konsumtivisme ini, mengapa? karena dari sini kita bisa berangkat menyadari masalah kita. Fakta bahwa kita membutuhkan konsumsi sesuatu seturut dengan kebutuhan kita, dapat jatuh kedalam bahaya “isme”, yaitu sebagai sebuah pandangan hidup, falsafah hidup, gaya hidup. Lambat laun, karena menjadi sebuah gaya hidup, maka seseorang tidak akan puas dalam kesadaran bahwa ia butuh sesuatu saja (untuk dikonsumsi), tetapi lebih dari itu sifat konsumsi itu terjadi secara berlebih. Ia menjadi sebuah gaya hidup. Beberapa contoh gaya hidup konsumtif remaja
• Berkaitan dengan konsumsi barang/jasa, Makanan-minuman, pakaian & perlengkapan (kosmetika, sepatu, handphone, etc), transportasi.
• hobies into maniac (hobbies good, but maniac?)
• waktu dan energi (liat aja nanti, males-malesan, ga ada tujuan)

Apa akibat dari gaya hidup konsumtif remaja?

Apa akibat dari gaya hidup konsumtif ini? Dampak yang paling utama dari gaya hidup konsumtif ini adalah kerugian bagi diri sendiri. Mungkin saudara-saudara akan segera menanggapi apa ruginya? Orang duit-duit saya ini, yang beli saya yang makai saya, apa ruginya?
Betul, saya tidak akan menyangkal itu bukankah di awal tadi saya juga mengatakan manusia memang butuh konsumsi, ia konsumtif, tetapi satu hal yang ingin saya tegaskan ialah kerugian yang terjadi bagi diri sendiri bila orang menerapkan gaya hidup yang konsumtif ialah orang itu masuk ke dalam jerat, yang lambat laun menjadi kebiasaan, dan ketergantungan.
Salah satu modal penjual dalam memasarkan barang dagangannya selalu berangkat dari kesadaran akan sifat manusia yang tidak pernah puas. (di atas tadi sudah disebutkan tentang tawaran produsen, ia akan mencoba berbagai cara untuk memikat konsumen agar membeli produknya). Sesorang yang telah jatuh ke dalam jerat tawaran produsen akan cenderung jatuh ke dalam motivasi psikologis dalam membeli sebuah produk/mengkonsumsi kebutuhan. (contoh: motivasi fungsional diabaikan dan cenderung kepada gengsi). Hal ini menjadi merugikan ketika secara tidak sadar ia mengkonsumsi sesuatu melebihi kebutuhan fungsionalnya. Ketergantungan/jerat itu juga pada situasi ekstrim tertentu membunuh kreativitas seseorang (contoh: beli makanan jadi, situasi indonesia sebagai negara konsumen).
Itu dalam hal konsumsi barang/jasa. Dalam hal konsumsi waktu dan energi, kerugian bagi diri sendiri adalah kekacauan priotitas. (mis. Hobies into maniac. Ini pencurahan waktu berlebih kepada satu hal, yang melupakan prioritas yang mungkin lebih penting) (Sedangkan, laha-lehe, mental liat aja nanti, adalah pemborosan waktu dan energi tanpa apapun, tanpa prioritas).

Bagaimana menghindari gaya hidup konsumtif remaja?

Lalu, bagaimanakah caranya menghindari gaya hidup konsumtif? Cara menghindarinya tak lain ialah dengan mengetahui hal-hal yang mendukung terciptanya gaya hidup konsumtif.
Hal yang paling memungkinkan bagi seseorang untuk jatuh ke dalam gaya hidup konsumtif ialah tersedianya (bahkan terkadang dengan mudah dan berlimpah) uang, waktu, dan energi. Oleh karena itu yang harus dilakukan untuk menghindari gaya hidup konsumtif adalah bijaksana dalam menggunakan uang, waktu dan energi. Apa artinya bijaksana? Artinya mampu mengambil keputusan, tahu konsekuensinya, dan sanggup melaksanakannya.
Secara konkrit ini dapat dilakukan dengan membuat skala prioritas kebutuhan. Misalnya dalam menggunakan uang, seberapajauhkah kita menyadari pendapatan dan pengeluaran kita. (ex.susun rencana pendapatan dan pengeluaran.) dalam membeli kebutuhan, Ingat kecenderungan produsen untuk memberikan tawaran menarik. Dengan membuat skala prioritas kita akan berhati-hati dan menyadari “lapar mata” terhadap barang-barang tertentu.
Menyadari pengkondisian jaman yang terkadang menipu. Cetuskan nilai-nilai diri, aktualisasi diri. Be yourself. Banyak yang jatuh ke dalam gaya hidup konsumtif karena tidak memiliki penghargaan terhadap diri sendiri. Atau tidak menjadi diri sendiri. (mis: karena ingin diakui oleh kawan-kawannya, maka menggunakan produk bermerk yang mahal). http://www.essyeisen.com/renungan/64-remaja/104–gaya-hidup-konsumtif-mengapa-tidak-boleh.html

MENGATASI SIFAT BOROS

Pembaca, apakah Anda selalu boros dalam pengeluaran Anda? Bila ya, maka tips dibawah ini mungkin bisa membantu Anda untuk mengatasi sifat boros Anda:
1. Buat batasan terhadap diri Anda sendiri.
Kenapa Anda tidak coba membatasi pengeluaran Anda sendiri dan mencoba mematuhi batas tersebut? Anda bisa coba membuat Anggaran Pengeluaran Keluarga dan mencoba mematuhi anggaran tersebut. Ingatlah bahwa salah satu gunanya membuat anggaran adalah untuk membatasi diri Anda sendiri dalam mengeluarkan uang.
Sebagai contoh, kalau Anda rutin membeli baju baru setiap bulan, katakan Rp 200 ribu per bulan, maka buat anggaran sebesar – katakan – Rp 250 ribu per bulan untuk pembelian baju baru setiap bulan. Mengenai tinggi rendahnya angka anggaran tersebut akan kembali lagi kepada Anda, karena kebutuhan setiap orang berbeda-beda. Anda baru disebut boros kalau pengeluaran Anda melebihi dari yang seharusnya, atau melebihi dari batas yang sudah Anda tetapkan sendiri.
2. Jangan mudah tertarik melihat suatu barang hanya karena barang itu bagus.
Jangan khawatir, tidak hanya Anda yang suka lapar mata. Terkadang saya sendiri juga sering lapar mata, dan ini manusiawi. Bedanya, ada orang yang bisa mengendalikan lapar mata itu, dan ada yang tidak. Ada banyak barang bagus di toko, tapi ketahuilah, kalau Anda tidak bisa mengendalikan lapar mata Anda, Anda akan terus menerus membeli, padahal uang Anda mungkin terbatas.
Tidak ada seorangpun yang bisa mengatasi lapar mata Anda, kecuali Anda sendiri. Bukan saya, bukan teman Anda, bukan keluarga Anda, tapi Anda sendiri. Percuma Anda memiliki anggaran kalau Anda masih juga sering lapar mata. Jadi, kendalikan lapar mata Anda.
3. Jangan mudah tertarik melihat suatu barang hanya karena barang itu didiskon.
Tidak peduli berapapun diskonnya, kalau Anda memang tidak membutuhkan barang tersebut, kenapa Anda harus membeli? Suatu transaksi jual beli barang seharusnya terjadi karena adanya kebutuhan, bukan karena adanya diskon, entah berapapun besarnya diskon tersebut.
Baju yang biasa berharga Rp 100 ribu bukan berarti harus dibeli hanya karena harganya didiskon menjadi Rp 20 ribu, kan? Yang penting di sini adalah, apakah Anda membutuhkan barang tersebut, bukan karena apakah barang itu didiskon atau tidak. Ingatlah bahwa diskon dibuat agar Anda membeli. Betul enggak?
Sekali lagi, semua itu kembali kepada diri Anda. Anda sendirilah yang bisa mencegah sifat boros Anda. Saya tidak bisa mengubah Anda. Hanya Andalah yang bisa mengubah diri Anda. Tetapkan tekad terlebih dulu untuk mengubah sifat boros Anda, karena percuma Anda mencoba menekan sifat boros Anda kalau Anda tidak menetapkan tekad terlebih dulu dalam hati Anda.

Tabloid NOVA No. 701


Menurut sumber yang dipetik dari http://ms.wikipedia.org/wiki/manggis, manggis atau nama saintifiknya (Garcinia Mangostana) adalah pokok tropika malar hijau dan dipercayai berasal dari Kepulauan Sunda dan Maluku. Pokok manggis boleh tumbuh dari 7 hingga 25 meter dan menghasilkan buah berwarna ungu pekat yang boleh dimakan.

KHASIAT KULIT MANGGIS – JANGAN ABAIKAN

1. Anti-fatigue (energy booster/memberi tenaga)
2. Powerful anti-inflammatory (prevents inflammation)
3. Analgesic (prevents pain/mencegah sakit urat saraf)
4. Anti-ulcer (stomach,mouth and bowel ulcers)
5. Anti-depressant (low to moderate/mencegah kemurungan)
6. Anxyolytic (anti-anxiety effect/mencegah kegelisahan/panik/cemas)
7. Anti-Alzheimerian (helps prevent dementia)
8. Anti-tumor and cancer prevention (multiple categories cited)… shown to be capable of kil lin g cancer cells/Mencegah kanser.
9. Immunomodulator (multiple categories cited) – helps the immune system
10. Anti-aging(Anti penuaan)
11. Anti-oxidant(Buang toxic dalam badan)
12. Anti-viral (membunuh kuman)
13. Anti-biotic (modulates bacterial infections)
14. Anti-fungal (prevents fungal infections/menggelakkan kulat)
15. Anti-seborrheaic (prevents skin disorders/mencantikkan kulit)
16. Anti-lipidemic (blood fat lowering, LDL/membuang kolesterol jahat)
17. Anti-atherosclerotic (prevents hardening of arteries)
18. Cardioprotective (protects the heart/untuk jantung)
19. Hypotensive (blood pressure lowering/rendahkan tekanan darah)
20. Hypoglycemic (anti-diabetic effect, helps lower blood sugar/kurangkan gula dalam darah)
21. Anti-obesity (helps with weight loss/kuruskan badan)
22. Anti-arthritic (prevention of arthritis/cegah sakit tulang)
23. Anti-osteoporosis (helps prevent the loss of bone mass)
24. Anti-periodontic (prevents gum disease/cegah gusi berdarah)
25. Anti-allergenic (prevents allergic reaction)
26. Anti-calculitic (prevents kidney stones/cegah batu karang)
27. Anti-pyretic (fever lowering/rendahkan suhu badab)
28. Anti-Parkinson
29. Anti-diarrheal
30. Anti-neuralgic (reduces nerve pain/sakit urat saraf)
31. Anti-vertigo (prevents dizziness)
32. Anti-glaucomic (prevents glaucoma/sakit mata)
33. Anti-cataract (prevents cataracts)
34. Pansystemic – has a synergistic effect on the whole body/Mengimbangi seluruh badan.
Jadi, nampak tak kandungan buah-buahan yang paling tertinggi. Tak sangka betul. Selama ni asyik membaca pasal kelebihan buah-buahan yang lain, tidak disangka buah-buahan tempatan kita adalah champion kepada semuanya. Tahniah manggis, tahniah..!!



KATA PENGANTAR

Kami ucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas segala limpahan rahmat, taufiq serta hidayahnya sehingga kita mampu melaksanakan segala aktivitas rutinitas dengan penuh kesabaran dan keikhlasan.
Selanjutkan makalah ini kami persembahkan untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Ilmu Logika yang membahas tentang ”Silogisme dan Kesesatan dalam berpikir” dan kami ucapkan banyak terima kasih kepada dosen pembimbing bapak Iskandar Zulkarnaen, M.Fil.I yang membina mata kuliah Ilmu Logika. Semoga makalah ini menjadi suatu ilmu yang bermanfaat bagi kita semua khususnya bagi kami pribadi. Dan hanya kepada Allah kami akan kembali.

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latang Belakang
Berpikir nampaknya dapat dilakukan oleh semua orang, mulai dari anak kecil sampai orang dewasa telah biasa melakukannya. Akan tetapi kalau kita amati lebih lanjut, terutama bila dipraktikkan, ternyata menghadapi banyak kesulitan-kesulitan. Orang dengan mudah dapat tersesat karena perasaan-perasaan, prasangka-prasangka yang mempengaruhi jalan pikirannya. untuk menghindari kesesatan dan kesalahan dalam usaha untuk mencapai kebenaran tersebut, maka disusunlah makalah ini dengan judul Silogisme dan Kesesatan Dalam Berpikir. Dengan harapan semoga makalah ini bisa bermanfaat. Amien.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian, hukum-hukum, bentuk-bentuk silogisem?
2. Apa yang dimaksud dengan kekeliruan berfikir?

BAB II
PEMBAHASAN

A. SILOGISME
1. Pengertian silogisme
Silogisme merupakan bagian yang paling akhir dari pembahasan logika formal, dan dianggap sebagai bagian yang paling penting dalam ilmu logika. Dilihat dari bentuknya silogisme adalah contoh yang paling tegas cara berpikir deduktif, yakni mengambil kesimpulan khusus dari kesimpulan umum. Hanya saja dalam teori silogisme, kesimpulan
terdahulu terdiri dari dua keputusan saja, sedang salah satu keputusannya harus universal; dan dalam dua keputusan tersebut harus ada unsur yang sama-sama dipunyai oleh kedua keputusannya.
Jadi yang dinamakan silogisme adalah suatu pengambilan kesimpulan, dari dua macam keputusan (yang mengandung unsur yang sama, dan salah satunya harus universal) suatu keputusan yang ketiga, yang kebenarannya sama dengan dua keputusan yang mendahuluinya.
Contoh:
Semua manusia akan mati
Si X manusia
Jadi : si X akan mati
Putusan-putusan yang menjadi sumber putusan terakhir disebut premisse. Priemisse yang wilayahnya umum disebut premisse mayor, sedangkan yang wilayahnya tidak/kurang umum disebut presmisse minor. Adapun putusan yang ditarik dari premisse ini desebut konklusi atau kesimpulan. Kedua premisse itu sering disebut juga antesedens. Sedangkan konklusi lalu dinamai konsekwens.

2. Hukum-hukum silogisme
Ada beberapa hukum yang perlu ditepati di dalam silogisme, supaya silogisme dapat merupakan jalan pikiran yang baik. Hukum ini bukanlah buatan para ahli-pikir, tapi hanya dirumuskan oleh para ahli itu.
Dibawah ini kami kemukakan hukum-hukum yang menyangkut term-term antara lain :
1. Hukum pertama
Silogisme tidak boleh lebih atau kurang dari tiga term. Kurang dari tiga term berarti bukan silogisme . Jika sekiranya ada empat term, apakah yang akan menjadi pokok perbandingan, tidak mungkinlah orang membandingkan dua hal denga dua hal pula, dan lenyaplah dasar perbandingan. Nampaknya tidak mungkin ada silogisme yang berterm empat, dan kalu ada, tentunya segera nampak salahnya.
Contoh : tiga term
Semua buruh adalah pekerja
Tukang batu adalah buruh
Tukang batu adalah pekerja.\
2. Hukum kedua
Term antara atau tengah (medium) tidak boleh masuk (terdapat) dalam kesimpulan. Term medium hanya dimaksudkan untuk mengadakan perbandingan dengan term-term. Perbadingan ini terjadi dalam premis-premis. Karena itu term medium hanya berguna dalam premis-premis saja.
2. Hukum ketiga
Wilayah term dalam konklusi tidak boleh lebih luas dari wilayah term itu dalam premis. Hukum ini merupakan peringatan, supaya dalam konklusi orang tidak melebih-lebihkan wilayah yang telah diajukan dalam premis. Sering dalam praktek orang tahu juga, bahwa konklusi tidak benar, oleh karena tidak logis (tidak menurut aturan logika), tetapi tidak selalu mudah menunjuk, apa salahnya itu.
Kami utarakan dulu contoh yang sederhana:
Anjin adalah makhluk hidup
Manusia bukan anjing
Manusia adalah bukan makhluk hidup.
4. Term antara (medium) harus sekurang-kurangnya satu kali universal. Jika term antara paticular, baik dalam premis mayor maupun dalam premis minor, mungkin saja term antara itu menunjukkan bagian-bagian yang berlainan dari seluruh luasnya. Kalau demikian term antara, tidak lagi berfungsi sebagai term antara, dan tidak lagi menghubungkan atau memisahkan subyek dengan predikat.
Contoh :
Beberapa orang kaya kikir
Budi adalah orang kaya
Budi adalah kikir.
Sedangkan hukum-hukum yang menyangkut premis-premis (keputusan-keputusan) antara lain :
a. jika kedua premis (mayor dan minor) positif, maka kesimpulannya harus positi juga.
b. Kedua premis tidak boleh negatif, sebab term antara (medium) tidak lagi berfungsi sebagai penghubung atau pemisah subyek dengan predikat. Dalam silogisme sekurang kurangnya subyek atau predikat harus dipersamakan oleh term antara (medium)
Contoh :
Batu adalah bukan binatang
Anjing adalah bukan batu
Anjing adalah bukan binatang.
c. Kedua premis tidak boleh particular. Sekurang-kurangnya satu premis harus universal. Kalau tidak, berarti melanggar hukum c, d bagian hukum-hukum term.
Contoh :
Ada orang kaya tidak tentram hatinya
Ada orang jujur bukan orang kaya
Orang jujur tidak tentram hatinya.
d. Kesimpulan harus sesuai dengan premis yang paling lemah. Keputusan particular adalah keputusan yang lemah dibandingkan dengan keputusan universal. Keputusan negatif adalah keputusan yang lemah dibandingkan dengan keputusan positif karena itu jika ada satu premis particular, maka kesimpulan harus particular. Jika salah satu premis negatif, maka kesimpulannya harus negatif. Jika salah satu premis negatif dan particular, maka kesimpulannya harus negatif dan particular juga. Kalau tidak akan terjadi ketidak beresan lagi dalam kesimpulan.

Contoh :
Beberapa anak putri tidak jujur
Semua anak putri manusia (orang)
Beberapa manusia tidak jujur.
3. Bentuk silogisme
Mengingat menurut bentuknya, bahwa ada putusan negatif, maka ada juga gambaran S = M, M ≠ P, jadi S ≠ P . dengan demikian silogisme dibagi ke dalam empat bentuk. Perbedaan pada masing-masing bentuk terlihat pada perobahan letak medium dalam premis mayor maupun dalam premis minor. Empat macam bentuk silogisme adalah :
3. M – P
S – M
S – P
4. P – M
S – M
S – P
5. M – P
M – S
S – P
6. P – M
M – S
S – P

B. KEKELIRUAN BERFIKIR
1. Kesesatan-Kesesatan dalam Penalaran
Menalar adalah berpikir dengan tepat. Oleh karena hanya manusia saja yang mampu berpikir, maka menalar itu obyeknya juga manusia. Manusia itu didalam kegiatannya berusaha mengolah apa yang dapat diketahui dengan indera untuk sampai pada suatu kebenaran. Dengan demikian sasaran dari penyelidikan penalaran itu adalah manusia. Untuk sampai pada suatu ketepatan bernalar, terdapat rambu-rambu yang sangat perlu diperhatikan, agar tidak terjadi kesesatan.
Kesesatan penalaran dapat terjadi pada siapa saja, bukan karena kesesatan dalam fakta fakta, tetapi dari bentuk penarikan kesimpulan yang sesat, karena tidak dari premis-premis yang menjadi acuannya .
2. Kemungkinan Kesesatan Berpikir Deduktif
a. Kesesatan Yang Bersifat Semantik atau Ambiguitas (Ambiguitya.1. Kesesatan-kesesatn Ambiguitas
1. Kesesatan Ekuivoka
Suatu kesesatan karena anggapan bahwa kata-kata selalu dapat dipakai dalam pengertian yang sama sedangkan sebenarnya terdapat ambiguitas. Kesesatan seperti ini dapat diatasi dengan cara menyusun definisi secara hati-hati.
2. Kesesatan Amfiboli
Amfiboli itu merupakan kesalahan dalam susunan kalimat atau proposisi. Seluruh argument terkena penafsiran ganda. Penafsiran ganda seperti itu menyebabkan ketidak jelasan karena susunan kalimatnya begitu sulit dipahami. Untuk keraguan, sering kali ditempuh jalan dengan membuat pertanyaan terhadap kalimat yang disusun itu.
3. Kesesatan Komposisi
Kesesatan itu mungkin sekali terjadi, bila kata atu sekumpulan kata yang disebut. Term di dalam satu bagian dipandang “secar distributive”, dan pada bagian lain term sebagai akibatnya adalah bahwa uraian penjelas yang disusun itu berangkat dari pola piker “masing-masing” atau particular, dipergunakan secar distributive itu berfungsi sebagai proposisi individual. Proposisi individual adalah suatu proposisi yang menyatakan masing masing anggota suatu golongan dan secara individual.
Sedangkan term “semua” itu dipergunakan secara kolektif apabila dipergunakan untuk menyatakan seluruh ataupun semua anggota golongan secara bersama-sama.
4. Kesesatan dalam Pembagian
Kesesatan ini berkebalikan dari kesesatan komposisi, yang telah dibicarakan di atas. Hal ini bisa terjadi karena mempergunakan istilah atau pengertian dalam arti kolektif pada sebuah proposisi, dan tetap saja mempergunakannya secara distributive pada premis lain atau dalam suatu konskuens. Hal itu akan membawa akibat bahwa uraian dari “semua” akan menjadi masing-masing atau dari universal ke individual. Kesesatan ini karena orang menganggap apa yang benar bagi keseluruhan, juga benar bagi setiap orang secara individual. Suatu kebenaran yang berlaku bagi keseluruhan terjadi juga akan benar bagi bagian-bagiannya. Sebaliknya terjadi pula apa yang tidak benar bagi keseluruhan juga dianggap tidak benar bagi bagian-bagiannya.
5. Kesesatan Aksentuasi
Semula berarti bahwa kata-kata yang ambiguitas yaitu pengertiannya akan berbeda, bila aksen ataupun tekanan dalam bicaranya berbeda pula. Sehingga aksen itu yang menyebabkan ambiguitas.
Anak-anak sering mengalami kesulitan dalam hal seperti ini. Agar ambiguitas itu dapat dihindari, seharusnya diberikan porsi tekanan yang cukup pada waktu pengucapannya, sehingga tidak ada yang luput dari perhatian. Kesalahan terjadi pada pembicaraan verbal.

b. Kesesatan Yang Bersifat Materiil
1. Kesesatan Aksidensia
Aksidensia adalah hal-hal yang ditambahkan ke dalam hal ang substansial (hakikat). Aristoteles dengan teori 10 kategorialnya, mengajarkan tentang 1 substansi dan 9 aksidensia bagi semua yang “ada”. Kesesatan ini biasa terjadi karena orang mengira bahwa apa yagn dianggap benar dalam substansi itu, juga benar dalam aksidensinya atau sifat sifastnya, maupun keadaan-keadaan yang eksistensinya secara kebetulan (aksidensi). Sedangkan setiap subyek tertenu itu mempunyai cirri-ciri khusus yang telah menjadi kodratnya sejak adanya eksistensi diri dan yang membedakannya dengan subyek lain.
2. Kesesatan sebaliknya tentang aksidensia
Ksesatan terjadi oleh karena kebenaran yang hanya kebetulan (aksidensia), dianggapnya sebagai hal yang kebenarannya substansial.
3. Kesesatan tentang Hal-hal yang Tidak Relevan
Kesesatan tentang hal-hal yang tidak relevan sering kali disengaja guna membangkitkan emosi atau mengalihkan perhatian seseorang ataupun sekelompok orang dari masalah yang dipersoalkan. Hal seperti ini sering dipergunakan untuk memperdayakan lawan bicara. Cara penyajiannya yang sering meyakinkan, tertapi faktanya justru sangat kabur ataupun bukan yang sedang dibahas. Keterpedayaan seseorang atau sekelompok orang itu karena memang sudah tidak tahu lagi bagaimana akan membantah suatu pernyataan. Kesesatan itu dapat dibedakan atas :
a. Argumentum Ad Hominem
(ditujukan kepada orangnya)
b. Argumentum Ad Populum
(ditujukan kepada masyarakat, guna mempengaruhi pendapat umum)
c. Argumentum Ad Mesericundiam
(belas kasihan)
d. Argumentum Ad Verecundiam
(menggunakan ketenaran seseorang untuk pembenaran argument)
e. Argumentum Ad Ignorantiam
(pembuktian tanpa dasar, tetapi lawan bicara juga tidak dapat membuktiakan sebaliknya).
f. Argumentum Ad Baculum (berwujud suatu paksaan)
c. Kesesatan Berdasarkan Anggapan yang Tidak Benar
c.1. Kesesatan Karena Menganggap Bahwa Kebenarnnya telah terbukti Sering pula disebut sebagi “petition principii” atau “fallacy of begging the question”. Ksesesatan ini terjadi oleh karena tidak memberi bukti yang seharusnya diterangkan dalam proses penalarannya. Pembicara hanya mengulang-ulangi pernyataannya itu dengan kata-kata lain yang sama artinya. Sangatlah disayangkan bahwa dengan demikian itu, ia yakin telah menciptakan kemajuan-kemajuan dalam penalaran.
c.2. Kesesatan karena sebab yang salah
Tidak jarang kesesatan ini sulit dibedakan dengan kesesatan dalam induksi, yang menyatakan “post hoc propter ohc”. Post hoc propter artinya adalah sesuatu memang terjadi setelahnya, tetapi bukanlah sebagai akibatnya. Kesesatan ini dapat terjadi, karena adanya anggapan, bahwa lebih dari satu peristiwa yang terjadi secara berturut-turut, lalau dianggap mempunyai hubungan sebab akibat. c.3. Kesesatan atas dasar konsekuens ataupun atas dasar nonsequitur Dalam pengertian yang luas, nonesequitur itu bisa diartikan suatu argumen non-selogisme. Suatu kesimpulan yang ditarik, tidak berdasarkan premis-premis,
ataupun seandainya dari premis, namun premisnya tidak relevan. Meskipun tidak tertutup kemungkinan bahwa kesimpulan itu benar.
c.3. Kesesatan berdasarkan pertanyaan yang kompleks Pengajuan pertanyaan yang kompleks dan bersifat pancingan, sehingga jawabnnya dapat mengandung salah satu pengakuan, atau juga mungkin dua-duanya sebagai pengakuan, yang sebenarnya hal itu tidak dikehendaki oleh yang ditanyai. Hal semacam itu sering kali dilakukan untuk merugikan dirinya dalam suatu pemeriksaan.

3. Kemungkinan Kesesatan Berpikir Induktif
A. Kesesatan Dalam Pengamatan
1. Pengamatan yang tidak lengkap
Bahwa pengamatan yang telah dilakukan itu tidak lengkap memang besar sekali peluangnya, hal itu sering kali disebabkan karena terbatasnya waktu dan dana. Atau memang sengaja hanya memperhatikan hal-hal tertentu yang relevan saja.
2. Pengamatan yang tidak teliti
Sering kali para ilmuwan menghadapi jalan buntu dalam membenarkan cara kerja induktif yang akan diterapkan dalam ilmu pengetahuan itu. Ketatnya logika deduktif dipakai oleh Popper untuk memperlihatkan cara kerja ilmu alam
yang bentuk perjalanannya secara induktif. Dasarnya sederhana, yang dapat dicontohkan sebagai berikut :
Ada beberapa sebab mengapa pengamatan itu dapat disebut tidak teliti. Sebab-sebab ketidaktelitian itu diidentifikasi sebagai sebab kejiwaan, sebab indrawi, sebab alamiah sebagai obyek pengamatan, dan ditambah dengan pengotoran lapangan.

B. Kesesatan Dalam Penggolongan
1. Penggolongan yang tidak lengkap
2. Penggolongan yang tumpang tindih
3. Penggolongan yang campur aduk
C. Kesesatan Dalam Penentuan Hipotesis
1. Hipotesis yang meragukan Sebenarnya ada suatu keinginan bahwa di dalam menyusun hipotesis itu, kita memperoleh kebebasan sebesar-sebesarnya, namun bila tidak memperhatikan pedoman yang telah ditentukan, dapat mengakibatkan kekeliruan.
2. Hipotesis yang bertentangan dengan fakta Hipotesis disusun sesuai dengan apa yang benar-benar terjadi dan bukan spekulasi

D. Kesesatan-kesesatan Dalam Penentuan Sebab
1. Post Hoc Propter Hoc
Arti kalimat di atas itu adalah bahwa sesuatu itu memang terjadi setelahnya, tetapi tidak disebabkan olehnya. Hal itu menunjukkan bahwa tanpa ada panelitian yang cukup, kemudian dengan tergesa-gesa telah mengambil kesimpulan. Sekalipun cara demikian itu banyak juga dilakukan, tetapi tetap merupakan kesesatan. Bila ada 2 peristiwa atau lebih terjadi secara berturut-turut maka tidak selamanya merupakan “sebab akibat” dan tidak selamanya mesti “memiliki hubungan”.
2. Analisis yang tidak cukup Antedennya
Untuk mendukung suatu analisis agar mudah mendapat pengukuhan, haruslah dilakukan dengan menyebutkan anteseden-anteseden secara lengkap dan mereduksi factor-faktor yang tidak relevan. Bila tidak demikian maka kesimpulan yang diambil tidak akan merupakan akibat atau tidak ditarik dari antesedennya.
3. Analisis tanpa perbedaan-perbedaan
Bila membuat analisis tentan perbedaan-perbedaan tetapi justru tidak mengemukakan perbedaan-perbedaannya maka analisisnya tidak sah. Terutama bila menggunakan metode ataupun perbandingan.
4. Keseiringan untuk sementara yang kebetulan
Hal-hal yang terjadi secara seiring kali menimbulkan kesesatan dalam menafsirkan atau dalam usaha untuk memahaminya. Kesesatan ini oleh karena tergoda oleh metode berpikir sebab akibat.

5. Generalisasi yang tergesa-gesa
Kesesatan ini sebenarnya sederhana. Oleh karena hanya merupakan penyimpulan yang berkelebihan dari yang dapat dijamin oleh bukti yang diajukan. Mungkin catatan peristiwa atau faktanya belum tuntas tetapi telah menyusun kesimpulan secara final.

E. Kesesatan Analogi
Kesesatan dalam analogi itu banyak dilakukan oleh suku-suku primitive pada masa-masa silam. Mereka belum mampu membedakan secara tajam barang-barang yang satu dengan yang lainnya. Menurut logikanya, barang-barang yang serupa itu tidak ada satu sama lain. Kesesatan itu akan tampak bila diterapkan penyusunan analogi tentang sifat-sifat manusia.

F. Kesesatan Dalam Statistik
1. Sampling yang tidak mewakili populasi
Bentuk generalisasi yang sangat tergesa-gesa dalam statistic adalah bentuk kesesatan utama. Kesesatan ini terjadi karena sampling yang diambil tidak mewakili populasi, sehingga generalisasinya juga tidak benar.
2. Penerapan gejala individual yang tidak bersifat umum
Kesesatan ini berwujud salah tafsir statistic yang lazimnya berlaku bagi oran awam.
3. Kepercayaan kepada statistic
Hasil perhitungan statistic merupakan suatu ketelitian dan kecermatan serta mengikuti metode analisis yang telah terbukti dan pasti. Stastik mempergunakan juga istilah-istilah tertentu seperti : mean, penyimpangan, korelasi yang dapat dipercaya dan pasti. Namun demikian statistic itu tidak dapat melepaskan diri dari probalitas dan kadar sebenarnya menunjukkan suatu derajat kemungkinan tertentu.
4. Kesesatan korelasi secara kebetulan
Kesesatan ini dapat terjadi, karena ada gejala korelasi sementara yang penyebabnya persamaan waktu ataupun persamaan kepentingan namun dipercaya sebagi sesuatu yang dianggap mempunyai korelasi riil.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
– Silogisme merupakan bagian yang paling akhir dari pembahasan logika formal, dan dianggap sebagai bagian yang paling penting dalam ilmu logika. Dilihat dari bentuknya silogisme adalah contoh yang paling tegas cara berpikir deduktif, yakni mengambil kesimpulan khusus dari kesimpulan umum. Hanya saja dalam teori silogisme, kesimpulan terdahulu terdiri dari dua keputusan saja, sedang salah satu keputusannya harus universal; dan dalam dua keputusan tersebut harus ada unsur yang sama-sama dipunyai oleh kedua keputusannya.
 Ada beberapa hukum yang perlu ditepati di dalam silogisme, supaya silogisme dapat merupakan jalan pikiran yang baik. Hukum ini bukanlah buatan para ahli-pikir, tapi hanya dirumuskan oleh para ahli itu.
Dibawah ini kami kemukakan hukum-hukum yang menyangkut term-term antara lain :
1. Hukum pertama
Silogisme tidak boleh lebih atau kurang dari tiga term. Kurang dari tiga term berarti bukan silogisme . Jika sekiranya ada empat term, apakah yang akan menjadi pokok perbandingan
2. Hukum kedua
Term antara atau tengah (medium) tidak boleh masuk (terdapat) dalam kesimpulan. Term medium hanya dimaksudkan untuk mengadakan perbandingan dengan term-term. Perbadingan ini terjadi dalam premis-premis. Karena itu term medium hanya berguna dalam premis-premis saja.
3. Hukum ketiga
Wilayah term dalam konklusi tidak boleh lebih luas dari wilayah term itu dalam premis.
4. Term antara (medium) harus sekurang-kurangnya satu kali universal. Jika term antara paticular, baik dalam premis mayor maupun dalam premis minor, mungkin saja term antara itu menunjukkan bagian-bagian yang berlainan dari seluruh luasnya. Kalau demikian term antara, tidak lagi berfungsi sebagai term antara, dan tidak lagi menghubungkan atau memisahkan subyek dengan predikat.

B. Saran
Setelah Penulis dapat menyelesaikan makalah ini, kami harapkan saran dan kritik dari bapak dosen dan rekan-rekan sekalian demi kesempurnaan makalah ini. Dan semoga makalah ini bermanfaat bagi yang membaca. Amien.

DAFTAR PUSTAKA
Suharto Heru. Kesesatan-Kesesatan Dalam Berfikir. Jakarta : Ghalia Indonesia, 1994 Poedjawijatna. Logika Filsafat Berpikir. Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2002
Tiam Dahri Sunardji. Buku Ajar Langkah-Langkah Berpikir Logis. Pamekasan : Stain Pamekasan Press, 2006



SYARAT TINGGAL DI NEGERI KAFIR
Oleh:
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin –rahimahullah-

Pertanyaan: Apakah hukumnya tinggal di negeri kafir?
Jawaban: Tinggal di negeri kafir merupakan bahaya besar terhadap agama seorang muslim, akhlak, perilaku, dan adabnya. Kami telah menyaksikan, begitu juga selain kami, banyak penyimpangan dari orang-orang yang tinggal di sana, setelah ia kembali tidak seperti saat kepergiannya. Mereka pulang menjadi fasik, sebagian mereka pulang menjadi murtad dari agamanya, kafir dengan islam dan semua agama (kita berlindung kepada Allah SWT) sampai ia mengolok-olok agama dan para pemeluknya yang terdahulu dan yang kemudian. Karena sebab inilah, seharusnya, bahkan wajib menjaga diri dari hal itu dan meletakkan syarat-syarat yang menghalangi terjerumus dalam kondisi seperti itu. Tinggal di negeri kafir harus mempunyai dua syarat utama:
Syarat pertama: dia aman terhadap agamanya, di mana ia mempunyai ilmu, iman, semangat kuat untuk tetap teguh di atas agamanya, berhati-hati terhadap penyimpangan dan kesesatan. Dan hendaklah ia menyembunyikan permusuhan terhadap orang-orang kafir dan membenci mereka, menjauhkan diri dari sikap loyal dan cinta terhadap mereka yang bisa menafikan iman. Firman Allah SWT:

لاَّتَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخَرِ يُوَآدُّونَ مَنْ حَآدَّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا ءَابَآءَهُمْ أَوْ أَبْنَآءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. (QS. al-Mujadilah:22)

Dan firman Allah SWT:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَآءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللهَ لاَيَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ . فَتَرَى الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضُ يُسَارِعُونَ فِيهِمْ يَقُولُونَ نَخْشَى أَن تُصِيبَنَا دَآئِرَةُ فَعَسَى اللهُ أَن يَأْتِيَ بِالْفَتْحِ أَوْ أَمْرٍ مِّنْ عِندِهِ فَيُصْبِحُوا عَلَى مَآأَسَرُّوا فِي أَنفُسِهِمْ نَادِمِينَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengangkat orang-orang yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengangkat mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. * Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-oang munafik) bersegera mendekati mereka (yahudi dan Nasrani), seraya berkata:”Kami takut akan mendapat bencana”. Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka. (QS. al-Maidah:51-52).
Disebutkan dalam hadits yang shahih, sesungguhnya siapa yang mencintai suatu kaum maka ia termasuk dari mereka:
اَلْمَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ
“Seseorang bersama orang yang dia cintai.”
Dan mencintai musuh-musuh Allah SWT merupakan bahaya terbesar terhadap seorang muslim, karena mencintai mereka merupakan kunsekuensi menyetujui dan mengikuti mereka, atau setidaknya tidak mengingkari mereka. Karena itulah Nabi bersabda yang maksudnya: “Barangsiapa yang mencintai suatu kaum maka ia termasuk dari mereka.”
Syarat kedua: bahwa ia bisa menampakan agamanya, di mana ia bisa melaksanakan syi’ar-syi’ar islam tanpa ada halangan. Ia tidak dihalangi mendirikan shalat, Jum’at, dan shalat jama’ah, jika ada orang yang shalat berjamaah dan yang mendirikan shalat Jum’at. Tidak dihalangi melaksanakan zakat, puasa, haji dan selainya yang merupakan syi’ar agama. Jika ia tidak bisa melaksanakan hal itu berarti ia tidak boleh menetap karena saat itu ia wajib melakukan hijrah.
Ibnu Quddamah rahimahullah berkata dalam al-Mughni (hal. 457 juz 8) dalam membicarakan pembagian manusia di dalam hijrah: salah satunya: orang yang wajib atasnya, yaitu orang yang mampu melakukannya, ia tidak bisa menampakan agamanya, tidak bisa melaksanakan kewajiban agamanya serta tinggal di antara orang-orang kafir. Orang seperti ini wajib melakukan hijrah berdasarkan firman Allah SWT:
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلاَئِكَةُ ظَالِمِي أَنفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي اْلأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُوْلاَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَآءَتْ مَصِيرًا
Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya:”Dalam keadaan bagaimana kamu ini”. Mereka menjawab:” kami Adalah orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)”. Para malaikat berkata:”Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah dibumi itu”. Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali, (QS. an-Nisaa`:97)
Ini merupakan ancaman berat yang menunjukkan bahwa berhijrah hukumnya wajib, dan karena melaksanakan kewajiban agamanya merupakan kewajiban bagi yang mampu atasnya. Dan hijrah merupakan kesempurnaan kewajiban dan sesuatu yang tidak sempurna kewajiban kecuali dengannya maka hukumnya wajib.
Setelah dua syarat utama ini terpenuhi, tinggal di negeri kafir ini terbagi beberapa bagian:
Bagian pertama: Dia tinggal untuk berdakwah bagi Islam dan mendorongnya. Ini termasuk salah satu jenis jihad dan hukumnya fardhu bagi yang mampu melakukannya dengan syarat dakwah bisa terlaksana dan tidak ada yang menghalangi darinya atau dari menerima dakwahnya, karena dakwah bagi agama Islam termasuk kewajiban agama dan ia merupakan jalan semua Rasul. Dan Nabi menyuruh berdakwah di setiap waktu dan tempat dalam sabdanya SAW:
بَلِّغُوْا عَنِّي وَلَوْ آيَةً
“Sampaikanlah dariku, kendati hanya satu ayat.”
Bagian kedua: Ia menetap untuk mempelajari keadaan orang-orang kafir, mengenal kerusakan akidah, kebatilan ibadah, sirnanya norma dan akhlak mereka, agar manusia terhindar dari tipu daya mereka, dan untuk menjelaskan kepada para pengagum mereka hakikat kondisi mereka. Menetap seperti ini pun termasuk jihad karena dampak positifnya untuk memperingatkan terhadap bahaya orang-orang kafir yang mengandung dorongan terhadap agama islam dan petunjuknya, karena kerusakan kufur merupakan dalil kebaikan Islam. Seperti dikatakan: Dengan lawannya jelaslah segala sesuatu. Akan tetapi dengan syarat terealisasinya keinginannya tanpa berdampak kerusakan lebih besar darinya. Jika tidak terwujud keinginannya, seperti dilarang mempublikasikan kondisi mereka, maka tidak ada gunanya menetap di negara mereka. Dan jika keinginannya bisa terwujud disertai kerusakan yang lebih besar, seperti mereka membalas perbuatannya dengan mencela Islam, Rasul Islam, dan para pemimpin Islam, maka wajib menahan diri, berdasarkan firman Allah SWT:
وَلاَتَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللهِ فَيَسُبُّوا اللهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلٍّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِم مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Dan janganlah kamu memaki sesembahan mereka selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jaidkan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Rabb mereka kembali, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan. (QS. al-An’aam:108)

Selain hal diatas bahwa ia menetap di negeri kufur untuk menjadi mata-mata kaum muslimin, sehingga kaum muslimin berhati-hati terhadap mereka. Sebagaimana Rasulullah SAW mengutus Huzaifah bin Yaman RA kepada kaum musyrikin dalam perang Khandaq untuk mengetahui berita mereka.
Bagian ketiga: Menetap untuk keperluan negara Islam, membina hubungan bersama negara kafir seperti pegawai kedutaan, maka hukumnya sama seperti hukum orang yang menetap karenanya. Dalam hal kebudayaan misalnya, ia bertugas menjaga para siswa, mengawasi mereka, mendorong mereka untuk konsekuwen di atas agama Islam, akhlak dan adab-adabnya. Maka dia menetap bisa memperoleh kebaikan yang banyak dan menghindari kejahatan yang besar.
Bagian keempat: Menetap untuk keperluan pribadi yang dibolehkan, seperti berdagang dan berobat, maka dibolehkan menetap sekadar kebutuhan. Para ulama rahimahumullah menegaskan bolehnya memasuki negeri kafir untuk keperluan perdagangan dan hal itu diriwayatkan dari sebagian sehabat.
Bagian kelima: menetap untuk belajar, ia termasuk jenis sebelumnya, menetap untuk keperluan, akan tetapi ia lebih berbahaya dari sebelumnya terhadap agama dan akhlak orang yang menetap. Sesungguhnya siswa merasa rendah kedudukannya dan ketinggian derajat pengajarnya. Karena itu terjadi pengagungan mereka, tunduk terhadap pendapat, pemikiran dan perilaku mereka. Lalu ia meniru mereka kecuali orang yang dipelihara Allah SWT, dan mereka hanya sedikit. Kemudian, siswa merasakan kebutuhannya terhadap pengajarnya, maka hal itu membawa kepada mengasihinya padahal ia melakukan penyimpangan dan kesesatan. Di tempat belajarnya, ia mempunyai sahabat dan teman dekat yang dia cintai dan loyal kepada mereka. karena bahaya yang besar ini maka harus menjaga diri lebih dari sebelumnya, maka ada tambahan syarat selain dua syarat sebelumnya.:
Syarat pertama: siswa sudah mempunyai kematangan jiwa yang bisa membedakan antara yang bermanfaat dan berbahaya, dan memikirkan masa depan yang jauh. Adapun mengutus anak muda ‘yang berusia muda’, mempunyai akal yang pendek, maka hal itu sangat berbahaya terhadap agama, akhlak dan perilaku mereka. Kemudian mereka berbahaya terhadap umat yang mereka akan kembali kepadanya, menyebarkan racun yang mereka ambil dari orang-orang kafir, seperti yang sudah terjadi. Kebanyakan utusan itu kembali tidak seperti saat mereka pergi, pulang dalam keadaan menyimpang dari agama, akhlak dan perilaku mereka. Bahayanya menimpa mereka dan masyarakat dalam perkara ini seperti yang sudah terjadi. Mengutus mereka sama seperti menyuguhkan kambing kepada anjing pemangsa.
Syarat kedua: siswa harus mempunyai bekal ilmu syari’at yang dia bisa membedakan antara yang hak dan batil, melawan kebatilan dengan kebenaran agar dia tidak tertipu dengan kebatilan mereka. Ia mengiranya benar, atau samar atasnya, atau lemah melawannya. Dan dalam doa yang ma’tsur: “Ya Allah, perlihatkan kepadaku kebenaran itu adalah benar dan berilah aku rizqi untuk mengikutinya. Dan perlihatkanlah kebatilan itu adalah batil dan berilah aku karunia untuk menghindarinya, dan jangan Engkau jadikan samar atasku maka aku menjadi tersesat.”
Syarat ketiga: siswa itu harus mempunyai agama yang bisa menjaganya dari kufur dan fasik. Maka yang lemah agamanya tidak bisa selamat tinggal di sana kecuali Allah SWT berkehendak lain. hal itu karena begitu kuatnya penyerang dan lemah perlawanan. Sebab-sebab kufur dan fasik di sana sangat kuat, banyak dan beraneka ragam, apabila mendapatkan tempat yang lemah perlawanannya ia melakukan aktivitasnya.
Syarat keempat: Kebutuhan terhadap ilmu pengetahuan yang dia menetap karenanya, yaitu dalam belajarnya merupakan kebaikan bagi kaum muslimin dan tidak ada di sekolah-sekolah di negerinya. Jika termasuk ilmu yang tidak dibutuhkan dan tidak ada manfaatnya bagi kaum muslimin, atau di negara islam ada sekolah yang setara, ia tidak boleh tinggal di negeri kafir untuk belajar ilmu itu, karena tinggal di negeri kafir merupakan bahaya besar terhadap agama dan akhlak, membuang-buang harta tanpa faedah.
Bagian keenam: tinggal untuk menetap terus-menerus, ini lebih berbahaya dari sebelumnya, karena berakibat kerusakan dengan ikhtilath yang sempurna dengan orang-orang kafir dan merasa bahwa ia adalah warga negara, menuruti peraturan negara berupa cinta, loyal dan memperbanyak jumlah orang-orang kafir. Keluarganya terdidik di antara orang-orang kafir, lalu mengambil akhlak dan adat istiadat mereka, terkadang meniru mereka dalam akidah dan ibadah. Karena itulah disebutkan dalam hadits:
مَنْ جَامَعَ الْمُشْرِكَ وَسَكَنَ مَعَهُ فَإِنَّهُ مِثْلَهُ.
“Barangsiapa yang bergabung dengan orang musyrik dan tinggal bersamanya, maka sungguh ia sama sepertinya.”
Maka bagaimana jiwa yang beriman bisa merasa tenang tinggal di negeri orang-orang kafir, dinyatakan padanya syi’ar-syi’ar kufur, hukum kepada selain Allah SWT dan rasul-Nya, sedang dia menyaksikan hal itu dengan mata kepalanya dan mendengar dengan kedua telinganya, serta ridha dengannya? Bahkan ia bersandar kepada negara itu dan tinggal di dalamnya bersama keluarga dan anak-anaknya, merasa tenteram kepadanya sebagaimana merasa tenteram di negari kaum muslimin. Padahal perbuatan itu mengandung bahaya besar terhadap dirinya, keluarga dan anak-anaknya dalam agama dan akhlak mereka.
Inilah hukum tinggal di negeri kufur, kami memohon kepada Allah SWT agar sesuai kebenaran.
Syaikh Ibn ‘Utsaimin –Majmu Fatawa dan Rasail (3/25)

Terjemahan dari:

(شروط الإقامة فى بلاد الكفار)


Kos dan pondok pesantren ini adalah dua tempat yang kontradiktif dalam pandangan umum. Bagi kalangan pesantren, kos adalah momok yang sebisa mungkin dihindari, mengapa? Kos yang dimaksud adalah suatu tempat (rumah / kamar) sewa , namun biasanya jika rumah sewa disebut kontrakan, sehingga predikat kos hanya untuk kamar sewa. Sebagaimana diketahui bersama bahwa kos merupakan tempat yang tidak ada aturan dan ketentuan seperti pondok pesantren.
Di dalam kos hanya ada aturan jam bertamu dan waktu yang mengharuskan anak kos berada di kos, selain dua aturan tersebut anak kos terbebas dari aturan yang lain karena ibu kos sudah mempercayakan segala sesuatu (yang berhubungan dengan mereka) kepada masing-masing anak kos. Dengan demikian tanggung jawab atas diri anak kos terletak di tangan anak kos itu sendiri, akan tetapi tidak semua kos demikian, karena ibu kos berada bersama anak kos maka pengawasan dan perhatian Tetap dipegang ibu kos.
Kebebasan yang ada di kos kemudian dijadikan kambing hitam dan kesempatan, terutama aspek pergaulan. Sebagian orang menganggap kebebasan di kos adalah kebebasan untuk bergaul bebas dan “lari” dari aturan-aturan formal, dan sebagian lain memandang kebebasan di kos merupakan kesempatan untuk bisa mencari jati dirinya dan mengekspresikan dirinya dengan dunia luar. Dan dengan tanpa aturan formal mereka dapat menilai siapa diri mereka.
Kos yang tidak ada aturan mendapat sorotan yang tajam dari masyarakat, mayoritas masyarakat menilai rendah terhadap kos karena kebebasan dan bukan merupakan tempat menuntut ilmu agama sebagaimana pondok pesantren. Dan fenomena yang terjadi di kos sebagian orang yang belum memiliki ataupun memiliki pegangan yang kokoh terkadang bisa terjebak dalam pergaulan yang kurang baik.
Fenomena inilah kemudian banyak orang berargumen bahwa kos adalah tempat yang tidak baik. Pandangan miring (negative) ini disepakati dan diterima oleh umum dan tak terkecuali orang-orang pesantren. Adapun aktivitas anak kos yang paling mendapat sorotan adalah keluar malam, bergaul dengan lawan jenis dengan bebas dan berpakian ketat dan tansparan.
Berbeda dengan pondok pesantren, tempat ini dimuliakan dan diagung-agungkan oleh semua orang dan hampir tak ada yang berani membuka aib (kejelekan) pondok pesantren, mengapa demikian? Tentu saja semua orang percaya bahwa pondok pesantren adalah temapat yang mulia, karena pondok pesantren merupakan tempat menuntut ilmu agama dan tempat para tokoh agama dilahirkan.
Di dalam pondok pesantren selain mendapatkan ilmu agama mereka pun dididik dan diajarkan untuk bersikap hidup qana’ah, wara’ dan bersosial. Kapasitas santri di dalam pondok pesantren jauh lebih banyak dari pada kos, satu kamar kadang berjumlah dua puluh atau sepuluh, berbeda dengan kos yang biasanya satu kamar hanya untuk satu orang atau dua orang saja. Meskipun demikian, jumlah yang banyak justru lebih baik, dengan begitu santri dituntut agar lebih mampu menjaga toleransi, dan menepis perbedaan-perbedaan yang ada pada masing-masing santri, misalnya perbedaan daerah, bahasa, karakter dan sebagainya.
Dengan kondisi dan esensi yang berbeda antara kos dan pondok pesantren, tentunya ini akan mengefek terhadap predikat baik tempat maupun penghuninya. Pondok pesantren dengan segala kondisi dan esensinya dianggap bernilai baik sehingga santrinya pun akan terbawa-bawa menjadi baik, begitu juga sebaliknya dengan kos yang sudah dianggap negative maka anak kos pun akan menjadi negative. Hal ini, sungguh bukan suatu keadilan bagi kos dan anak kosnya, karena anggapan-anggapan global (secara umum) tersebut.
Sekarang yang menjadi pertanyaan, siapakah yang berani menjamin seratus persen santri itu baik dan anak kos itu buruk? Percayakah jika santri ternyata pecandu obat-obatan terlarang seperti narkotika? Yakinkah jika ternyata santri ada yang hamil di luar nikah? Na’udzubillahi min dzalik. Dan percayakah jika ternyata anak kos adalah seorang ‘ulama? Semua ini adalah kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi, karena tempat baik kos maupun pondok pesantren tidaklah seratus persen menjamin akan semua penghuninya mendapat predikat yang sama dengan tempat itu sendiri.
Kos dan pondok pesantren adalah hanya symbol untuk sebuah tempat atau bahasa untuk nama tempat. Bahasa adalah merupakan system symbol yang memiliki makna, merupakan alat komunikasi manusia, penuangan emosi manusia serta merupakan saran pengejawantahan pikiran manusia dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam mencari hakikat kebenaran dalam hidupnya .
Adapun ciri-ciri bahasa diantaranya : Konvensional, arbitrer (suka-suka) dan lain-lain. Bersifat arbitrer maksudnya tidak ada hubungan wajib antara lambang sebagai hal yang menandai yang berwujud kata atau leksem dengan benda atau konsep yang ditandai, yaitu refen dari kata tersebut .
Nah, seperti halnya kata Kos, kos adalah tempat sewa mengapa tidak dinamakan pondok pesantren atau hotel atau yang lainnya, begitu juga sebaliknya kata pondok pesantren. Dengan demikian kita tahu bahwa sebenarnya tempat dengan segala kondisinya tidaklah bermakna jelek atau buruk, itu hanyalah penamaan arbitrer, sehingga janganlah memandang sinis terhadap suatu tempat terutama kos yang selama ini masih dianggap momok oleh suatu kelompok.
Baik-buruknya suatu tempat hanya tergantung oleh penghuninya, jikalau anak kos menjadikan kos sebagai tempat mengaji atau diskusi ilmiah, apakah kos akan tetap mendapat predikat negative?dan begitu juga sebaliknya seandainya pondok pesantren sudah keluar jalur artinya hanya dijadikan sebagai tempat nge-gosip, ajang perselisihan, perbaikan nama baik dan status, penekanan dan mungkin pemaksaan serta penindasan, apakah pondok pesantren pun akan tetap berpredikat baik? Jawabannya ada dalam diri anda.
Deskriminasi terhadap tempat khususnya kos dan pondok pesantren ini agar tidak terjadi, perlu adanya pandangan atau persepsi yang luas sehingga tidak ada pemahaman yang sempit dan pandangan sinis terhadap suatu kelompok dan pemuliaan terhadap kelompok lain.
Manusia adalah makhluk yang lemah dan dinamis, perubahan-perubahan terhadap dirinya akan selalu terjadi, maka apakah kita juga bijak dan adil berkata anak kos adalah tidak baik? sehingga apakah kita hanya akan memilih dan mempercayai seorang santri selalu baik meskipun mereka hanya numpang tidur, atau kata guruku, maaf, numpang buang air besar doang di pondok pesantren?, karena predikat pondok pesantrennya baik.
Dunia ini penuh dengan kemungkinan-kemungkinan, untuk itu, kita harus bersikap bijaksana dan jangan merasa baik karena kemungkinan yang belum terjadi mungkin akan dan bisa terjadi.


Mungkin para pembaca yang budiman akan merasakan ada sesuatu yang unik dalam judul diatas. Apa itu? ya, yang dimaksud dengan mengaji sambil berbisnis adalah kegiatan pengajian kitab atau majelis taklim yang dilakukan oleh sekelompok orang (kaum santri) di barengi dengan kegiatan berwirausaha, yaitu berbisnis.
Mengapa kok harus mengaji sambil berbisnis? Karena sebagaimana Allah telah berfirman dalam kitab-Nya yang berarti “Sampaikanlah walau satu ayat”. Pengertian dari ayat ini merupakan dasar dari adanya judul tersebut diatas. Kalimat ‘mengaji’ diatas mengandung banyak makna; 1) Dengan mengaji bersama akan terjalin silaturrahmi yang erat, 2) Dengan mengaji bersama akan tercipta interaksi bisnis 3) Dengan mengaji juga akan menjadikan sebuah pertemuan wadah berdiskusi dan bermufakat, dsb.
Mengaji Sambil Berbisnis, seperti kata Ir. Ciputra ‘jadilah orang yang bermental pengusaha”. Dengan berusaha keras akan menghasilkan buah manis yang sedang menunggu untuk di kupas. Let’s Be Smart..! To Be Entrepreneur…


Seiring dengan arus dinamika zaman, definisi dan persepsi terhadap kaum ‘Santri’ menjadi berubah pula. Kalau pada awalnya kaum ‘Santri’ diberi makna dan pengertian sebagai ‘orang yang menimba ilmu-ilmu agama Islam dengan sistem pengajaran yang tradisional dan klasik’. Atau sekumpulan orang-orang yang mukim dalam sebuah asrama (pondokan), dan masa belajarnya membutuhkan kurun waktu yang cukup lama, sampai si ‘Santri’ tersebut benar-benar matang menyerap semua ilmu yang telah di pelajarinya, dan siap untuk terjun langsung di masyarakat. Tetapi sekarang definisi dan persepsi tentang kaum ‘Santri’ sebagaimana dijelaskan diatas tidak lagi benar.
Secara umum, perlu diberikan suatu keseragaman pengertian tentang kaum ‘Santri’. Mengapa? Karena sesuai dalam perkembangannya di dalam bangsa ini, kaum ‘Santri’ tidak lagi identik dengan definisi dan persepsi klasik seperti disebutkan diatas. Kaum ‘Santri’ sekarang sudah mempunyai kekuatan besar (big power) dalam menjadikan bangsa ini lebih bermartabat dan berjati diri, serta berkarakter.
Dengan bermodalkan tiga “H” bentuk keterampilan, yaitu: “H” pertama, Head artinya kepala, maknanya mengisi otak santri dengan ilmu pengetahuan, “H” kedua, Heart artinya hati, maknanya mengisi hati santri dengan iman dan taqwa (IMTAQ), dan “H” yang ketiga, adalah Hand artinya tangan, maknanya kemampuan bekerja. (Daulay, 2004: 26). Kaum ‘Santri’ sangat mumpuni untuk menjadi seorang pemimpin di bangsa ini. Yang akan menjadikan masyarakat bangsa ini, masyarakat madani. Yaitu masyarakat yang pernah ada dalam sejarah keemasan Islam (masa Rasulullah), yang dalam tatanan kehidupan masyarakatnya berperadaban tinggi.
Masyarakt madani adalah masyarakat yang mempunyai lima ciri dalam tatanan hidupnya, yaitu: 1) Masyarakat Rabbaniyah, semangat berketuhanan yang berlandaskan aqidah, syari’ah, dan ahlak. 2) Masyarakat yang demokratis, di mana Rasulullah dan para sahabatnya mentradisikan musyawarah dalam segala persoalan. 3) Masyarakat toleran, masyarakat Madinah adalah masyarakat yang plural, dari segi suku mereka terdiri dari berbagai etnik. Dengan mempersatukan berbagai kalangan dan etnik ini, akan tercipta persatuan dan kerjasama yang erat. 4) Berkeadilan, karena begitu pentingnya keadilan dalam sebuah tatanan hidup masyarakat, sampai-sampai Al-Qur’an menjelaskan bahwa keadilan itu mendekati taqwa. (QS. Al-Maidah: 8). 5) Masyarakat berilmu, ilmu merupakan salah satu pilar yang di tegakkan Rasul dalam membangun masyarakat Madinah. Sehingga penerapan masyarakat berilmu ini begitu urgen dalam memberantas buta huruf (aksara) di kalangan umat Islam. (Daulay, 2004: 33).
Kita ketahui bersama, dengan kehadiran “kekuatan Santri” dalam kancah perpolitikan nasional: mampukah mereka mewarnai kembali peradaban nusantara dalam membangun kekuatan bangsa dan dapat menjadi rahmatan lil ‘alaamien bagi tegaknya keadilan dan kesejahteraan bangsa yang menyentuh ke seluruh wilayah negeri ini?.
Menilik pada fenomena yang terjadi sejak akhir dekade 1990-an hingga sekarang, kaum ‘Santri’ memiliki tawaran politik yang lebih kongkret realistis, yakni melakukan pergeseran dari sekedar terlibat dalam dataran ideologis ke arena politik praktis dan berusaha membawa Islam ke dalam “lingkungan kekuasaan (power)”.
Mungkin sebagian orang akan tertawa, apabila mendengar kaum ‘Santri’ bermain politik, berkecimpung dalam tatanan ekonomi bangsa, mengadakan hubungan dengan berbagai etnik dalam masalah kehidupan sosial (pluralitas), ikut mengenalkan khazanah budaya negeri ke negara-negara lain, serta menguasai ilmu pengetahuan dan tekhnologi (IPTEK).
Namun, itu semua tidak menjadi kendala dan pemutus semangat bagi mereka dalam mengikuti kancah pergumulan politik di dalam negeri. Bahkan asumsi orang-orang yang mendoktrin kaum ‘Santri’ sebagai orang yang ketinggalan zaman dan gaptek (gagap tekhnologi), hanyalah wacana dan anggapan omong kosong belaka. Atau mungkin sebaliknya, mereka yang mendoktrin sepeti itu adalah kaum-kaum jahiliyah yang dengki terhadap kehidupan kaum ‘Santri’.
Menurut Penulis, dengan sangat yakin sekali, apabila kaum ‘Santri’ menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti: pendidikan, politik, ekonomi, sosial, dan budaya, akan mempunyai peran penting dalam menjadikan masyarakat bangsa ini masyarakat madani.
‘Santri’ berpendidikan
Substansi dari pendidikan kaum Santri adalah pendidikan hati (tarbiyah al-qolbu). Yang tentu dibarengi dengan iman dan taqwa, dan juga wawasan ilmu pengetahuan yang luas. Ada sebuah adagium yang menarik dikalangan kaum ‘Santri’ dalam masalah pendidikan, yaitu jadilah santri yang intelek, bukan cerdas dulu baru intelek.
Karena kebanyakan dari orang cerdas lebih dulu baru intelek, kehilangan hati nuraninya (dlomir). Ia tidak lagi mengenal siapa dirinya sebenarnya? Untuk tujuan apakah pendidikan yang ia capai? Serta apa itu substansi dari pendidikan?. Sebaliknya orang yang intelek dulu sudah pasti cerdas, Ia tidak akan pernah lupa hakikat dari substansi pendidikan yaitu pendidikan hati (tarbiyah al-qolbu). Apabila hatinya bersih, maka tingkah laku, gerak-gerik, dan semua tindak-tanduknya sudah pasti baik. Bukan dengan hati kotor yang akan lebih banyak mendatangkan kejelekan dan kemudlorotan. Rasulullah Saw. Bersabda: Innamal A’malu Bin Niyyat Wa Innama Likuliimriin Maa Nawaa, Sesungguhnya segala sesuatu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap segala perkara itu tergantung pada apa yang diniatkan.
‘Santri’ berpolitik
Santri berpolitik adalah adalah santri yang mengaktualisasi dalam wilayah politik, atau santri yang terlibat dalam kelembagaan politik. Kaum ‘Santri’ dalam berpolitik, mengikuti politik yang dipakai oleh Rasulullah dalam memimpin umat Islam, yang bersumber dari al-Qur’an, Sunnah, dan tradisi (dalam arti luas). Telah ditunjukan al-Qur’an dalam bernegara dan bermasyarakat, diantaranya: musyawarah¸ ketaatan kepada pemimpin, keadilan, dan persamaan. Dengan sistem politik tersebut, Rasulullah Saw berhasil menjadikan umat Islam masyarakat yang sangat berperadaban. Yaitu masyarakat madani.
Perlu diketahui, pengertian istilah cara politik Rasulullah (politik Islami) ini tidak harus diartikan secara formal, misalnya dengan mendirikan negara Islam, khilafah Islamiah, atau partai-partai Islam. Karena Secara historis, Nabi Muhammad sendiri tidak pernah menyebut negara Islam. Yang ada hanya negara Madinah (madani). Apakah Saudi Arabia yang mengklaim sebagai negara dengan ideologi Islam pantas disebut negara yang lebih Islami daripada Indonesia misalnya?
‘Santri’ berekonomi
Mendengar kalimat diatas, bukan lagi barang baru yang ada di dalam kehidupan kaum ‘Santri’. Sudah banyak lembaga-lembaga pesantren yang membekali para santrinya dengan ilmu-ilmu berwirausaha (enterpreuneurship). Bahkan ada sebuah pesantren di desa Nglaren, Yogyakarta yang berslogankan “Mengaji Menuju Santri Enterpreuneur”. Yaitu disamping si Santri belajar ilmu-ilmu agama, mereka juga belajar dan di ajari tentang ilmu-ilmu sistem perekonomian Islam (syari’ah).
Selain itu, kaum Santri juga disiapkan untuk menjadi sumberdaya-sumberdaya manusia yang berkarakter nubuwwah, yaitu: memiliki kemampuan dan keahlian yang memadai (fathonah), memiliki integritas terhadap penegakan kebenaran (shiddiq), memiliki kepekaan terhadap perubahan keadaan, informatif dan komunikatif (tabligh) dan memegang teguh komitmen yang telah direncanakan dan disepakati (amanah).
Kalau kita lihat perkembangan ekonomi dunia yang masih belum stabil pertumbuhannya hingga saat ini, ternyata sistem perekonomian yang berbasiskan Islam (syariah), lebih eksis dan bahkan semakin menjulang tinggi pertumbuhannya. Ini menandakan sistem perekonomian Islam (syari’ah), merupakan sistem yang sangat efektif apabila digunakan untuk tatanan perekonomian bangsa.

‘Santri’ bersosial
Semua orang mungkin sudah mengetahuinya, bagaimana dan seperti apa kehidupan kaum Santri dalam kesehariannya? Di pesantren manapun, di desa ataupun dikota, lembaga-lembaga pesantren selalu mendidik para Santrinya untuk hidup bersosial antar sesama.
Sebagaimana kata Gus Dur (alm), pesantren adalah sebagai lembaga integral masyarakat yang bertanggung jawab terhadap perubahan dan rekayasa sosial. Karena pesantren seperti dunia akademik dan memiliki cirri khas tersendiri, bertanggung jawab atas berbagai fenomena sosial yang berkembang dan berdampak negative bagi kelangsungan hidup manusia.
Pesantren juga, menanamkan pasa Santrinya dengan nilai-nilai yang memiliki cita sosial yaitu nilai keadilan, perdamaian, kejujuran, tanggung jawab dan membawa kemaslahatan di dunia dan akhirat.
Bourdieu mengungkapkan bahwa dalam praktek sosial terdapat ‘konsep’ ynag ,menggerakan suatu tindakan sosial, yaitu ‘habitus’ dan ‘field’, yang didukung oleh kekuasaan simbolik, strategi, dan perjuangan.
‘Santri’ berbudaya
Kaum Santri mempunyai andil besar dalam memahami nilai-nilai budaya bangsa. Karena mereka mengetahui potret perjalanan pesantren di Indonesia. Islam berkembang di dalamnya dengan perantara khazanah budaya-budaya yang ada di Indonesia.
Pesantren dikenal sebagai “counter culture”, maka semestinya pesantren mengalami perubahan dan perkembangan sejalan dengan sifat dan cirri khas budaya yang bersifat dinamis dan statis. Para Santri pun dituntut untuk ikut mengalami perubahan dan perkembangan sejalan dengan sifat dan cirri khas budaya tersebut. Disinilah wadah untuk memastikan, apakah kaum Santri bisa mengikuti modernitas di era globalisasi ini dengan tetap berpegang kepada khazanah budaya bangsa?.
Untuk itulah “The Power of Santri” Dari Gubuk Pesantren Menuju Menara Peradaban, menjadi daya tarik tersendiri untuk diteliti dan diketahui. Melihat keadaan bangsa yang tak kunjung selesai ditimpa masalah-masalah. Dengan peran serta kaum Santri diarena perpolitikan bangsa, mampukah mereka merekonstruksi, mereaktualisasi, dan mereposisi di hadapan kekuatan-kekuatan lain dalam menciptakan bangsa yang madani, yaitu Indonesia baru yang agamis, bermoral dan lebih beradaban (civilized). Wa Allahua’lamu bishowab.**


Safar adalah nama bulan kedua dalam kalender Islam atau kalender Hijriyah yang berdasarkan tahun Qomariyah (perkiraan bulan mengelilingi bumi). Safar berada diurutan kedua sesudah bulan Muharram. Asal kata Safar dari Shafar. Yang menurut bahasa (linguistik) berarti kosong, ada pula yang mengartikannya kuning. Sebab dinamakan Safar, karena kebiasaan orang-orang Arab zaman dulu sering meninggalkan tempat kediaman atau rumah mereka sehingga kosong untuk berperang menuntut pembalasan atas musuh-musuh mereka. Ada pula yang menyatakan, nama Safar diambil nama suatu jenis penyakit sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang Arab jahiliyah pada masa dulu, yakni penyakit Safar yang bersarang di dalam perut, akibat dari adanya sejenis ulat besar yang sangat berbahaya. Kita kenal penyakit itu sekarang dengan nama penyakit Kusta. Ada pula yang menyatakan, Safar adalah sejenis angin berhawa panas yang menyerang bagian perut dan mengakibatkan orang yang terkenanya menjadi sakit.

Di dalam bulan ini, ada juga kalangan umat Islam mengambil kesempatan melakukan perkara-perkara ibadah khurafat yang bertentangan dengan syariat Islam. Ini terjadi karena menurut kepercayaan turun-temurun sesetengah orang Islam yang jahil, bulan Safar ini merupakan bulan turunnya bala bencana dan mala petaka, khususnya pada hari Rabu Wekasan yaitu hari rabu minggu terakhir dibulan Safar. Sehingga ada Beberapa kepercayaan masyarakat tentang adanya mitos pada bulan safar ini, sebagaimana yang diyakini oleh kalangan masyarakat Sunda dan Banjar baik dari yang paling muda sampai yang paling tua.

Menurut masyarakat Sunda

Safar adalah bulan yang dianggap pamali untuk mengadakan pesta perayaan, seperti hajat pernikahan atau sunatan anak. Mereka sangat mempercayai tentang mala petaka yang akan turun pada Rabu Wekasan. Setidaknya menurut mereka ada dua musibah yang akan terjadi pada bulan ini, yaitu:

1. Paceklik Order

Berbeda dengan bulan Raya Agung (hari raya Idul Adha) yang ramai dengan acara hajatan terutama di akhir pekan, di bulan Safar janur kuning tidak lagi terlihat menghiasi gang dan gedung-gedung serbaguna. Masyarakat Sunda enggan untuk melangsungkan pesta perayaan pada bulan  ini. Menurut Ahmad Gibson Al-Busthomi, seorang seniman Sunda, dalam sebuah diskusinya yang menyatakan bahwa dalam masyarakat Sunda tidak dikenal system perhitungan hari baik (astrologi) seperti dalam masyarakat Jawa. Namun, larangan melangsungkan pesta pernikahan atau sunatan ternyata sangat kuat tertancap dalam benak masyrakat. Mereka meyakini ikatan pernikahan yang dilakukan di bulan Safar tidak akan abadi, dan kedepannya akan sulit untuk mendapatkan keturunan (Zuriat).

Hal ini kemudian diperkuat dengan pandangan bahwa bulan Safar adalah bulan kawin anjing. Di beberapa wewengkon tatar Sunda, terutama daerah yang dekat dengan hutan dan masih terdapat anjing liar, pada bulan ini sering terdengar gonggongan dan lolongan anjing. Anjing-anjing tersebut sedang naik birahi dan melakukan perkawinan. Oleh karena itu orang Sunda cadu menikah di bulan ini, karena mereka tidak mau disamakan dengan binatang yang dianggap najis itu.

Kondisi tersebut tentu saja membawa pengaruh ekonomis kepada orang-orang yang bergelut di bisnis pesta hajatan. Para pengusaha perencana pernikahan, seniman, termasuk mubaligh mengalami paceklik order, tidak ada yang mengundang. Mereka akhirnya”berpuasa” untu manggung, bahkan beberapa diantaranya wayahna harus banting setir pindah pekerjaan di bidang lain untuk sementara waktu. Keadaan paceklik order ini baru berakhir tatkala bulan mulud tiba. Dalam sebuah peribahasa Sunda disebutkan “kokoro manggih mulud” orang yang sedang sengsara kemudian mendapat rezeki yang besar seperti bulan mulud. Para pekerja bisnis hajatan yang di bulan Safar dalam kondisi tiseun (sepi order), memasuki bulan mulud mereka kembali merema (banyak order).

2. Bulan Balae

Bulan Safar juga diyakini sebagai bulan balae (bulan bencana). Keyakinan ini sudah terpatri kuat dalam benak masyarakat Sunda. Di bulan ini turun 70.000 penyakit untuk satu tahun ke depan. Berbagai musibah dan bencana juga banyak muncul dibulan ini. Lihat saja berbagai bencana yang saat ini terus melanda beberapa daerah Indonesia, menurut beberapa kalangan Sunda tradisional itu merupakan pertanda akan mitos tersebut. Mitos bulan bencana ini juga diperkuat dengan cerita sejarah kehancuran masyarakat zaman dahulu. Sejak zaman dahulu bencana senantiasa diturunkan di bulan Safar. Allah telah menghukum kaum yang tidak beriman seperti kaum ‘Aad dan Tsamud pada bulan ini.

Masyarakat Sunda pun meyakini bala bencana akan menjauh dan terbebas darinya, apabila menjalani ritual tolak bala dan bersedekah. Ritual tolak bala dilangsungkan dengan cara memanjatkan do’a dan mandi di pantai, sungai atau tempat-tempat keramat tertentu untuk membuang sial. Di masyarakat Cirebon ritual mandi Safar dikenal dengan ngirab.

Menurut masyarakat Banjar

Bagi orang Banjar, bulan Safar dianggap sebagai “bulan sial, bulan panas, bulan diturunkannya bala, dan bulan yang harus diwaspadai keberadaannya”. Karena pada bulan ini, segala penyakit, racun, dan hal-hal yang berbau magis memiliki kekuatan yang lebih dibanding pada bulan lainnya. Dalam anggapan masyarakat kesialan bulan Safar akan semakin meningkat jika ketemu dengan Arba’ Musta’mir.

Karenanya menjadi semacam kebiasaan bagi orang Banjar untuk melakukan hal-hal tertentu untuk menghindari kesialan pada hari itu, misalnya; 1) Sholat sunnah mutlak disertai doa tolak bala, 2) Selamatan kampung, biasanya disertai dengan menulis wafak di atas piring kemudian dibilas dengan air, seterusnya dicampurkan dengan air di dalam drum supaya bisa dibagi-bagikan kepada orang banyak untuk diminum, 3) Mandi Safar untuk membuang sial, penyakit, dan hal-hal yang tidak baik. Mandi Safar ini menjadi atraksi wisata menarik di Kal-Teng yang dipromosikan. Mandi Safar ini merupakan tradisi masyarakat yang mendiami tepian sungai Mentaya, 4) Tidak melakukan atau bepergian jauh, 5) Tidak melakukan hal-hal yang menjadi pantangan, dan sebagainya. Bagi orang Jawa, untuk menyambut Arba’ Musta’mir (Rebo Wekasan) biasanya dilakukan dengan membuat kue apem dari beras, kue tersebut dibagi-bagikan kepada tetangga.

Hal lain yang juga menarik untuk diamati adalah, adanya anggapan orang Banjar bahwa anak-anak yang dilahirkan pada hari Arba’ Musta’mir jika sudah agak besar akan menjadi anak yang nakal dan hiperaktif. Sehingga untuk mencegah anak tersebut agar tidak nakal, disyaratkan agar sesudah ia lahir ditimbang (batimbang).

Namun seiring dengan perkembangan zaman dan peredaran waktu, kepercayaan masyarakat Sunda maupun masyarakat Banjar sebagaimana dijelaskan diatas, memang  sudah mulai berkurang dan mengalami perubahan, tidak seperti dulu lagi dalam memandang bulan Safar. Dan tentu saja, masih ada beberapa orang yang menganggap Safar sebagai bulan kesialan, penuh bencana, penyakit, panas, dilarang melangsungkan pesta pernikahan atau sunatan, dan nahas.

Dalam  kalangan masyarakat Sunda kepercayaan atau keyakinan tersebut dipandang memiliki benang merah dengan kearifan lokal (local wisdom). Larangan untuk melakukan aktivitas hajatan di bulan Safar memang tepat, karena di bulan ini kondisi cuaca seringkali tidak bersahabat. Larangan ini juga bisa diposisikan sebagai penumbuh kesadaran tentang keseimbangan hidup. Masyarakat diajarkan ada waktunya untuk bersuka cita, bergembira dan berpesta, serta adakalanya pula harus beristirahat dan bersiap-siap mengahadapi cobaan, derita dan duka cita. Dengan begitu akan tumbuh kesadaran hidup yang lebih hakiki.

Tolak bala dengan banyak memberi sedekah mengandung makna solidaritas sosial, “paheuyeuk-heuyeuk leungeun” atau saling membantu dan saling menolong. Tatkala di bulan ini tidak ada pesta hajatan, orang-orang miskin yang biasa membantu menjadi kehilangan sumber rezeki. Dengan sedekah mereka kembali mendapatkan topangan hidup.

Sedangkan, di kalangan masyarakat Banjar kepercayaan atau keyakinan tentang mitos bulan Safar ini, menurut penulis, boleh jadi karena memang banyak kasus atau kejadian yang menimpa orang Banjar dan kebetulan pas di bulan Safar. Sehingga karena seringnya terjadi apa yang ditakuti oleh orang Banjar di  atas pada bulan Safar, lalu mereka menjustifikasi bulan Safar sebagai bulan penuh kesialan, marabahaya, dan seterusnya. Akibatnya, dalam perspektif orang Banjar, bulan Safar adalah bulan yang harus diwaspadai dan ditakuti. Pantang bagi mereka untuk melakukan kegiatan-kegiatan penting di bulan Safar, misalnya perkawinan, membangun batajak (rumah), menurunkan kapal, bepergian jauh (madam), memulai usaha (dagang, bercocok tanam), mendulang emas atau intan, dan sebagainya. Sebab, ujung dari semua kegiatan tersebut dalam pemahaman mereka adalah kegagalan dan kesusahan, dan khusus bagi mereka yang mendulang sangat rentan terkena racun atau wisa.

Nah, untuk itulah menjadi hal yang signifikan merekonstruksi kepercayaan dan keyakinan (pemahaman) masyarakat terhadap bulan Safar, agar tidak menjadi sebuah mitos dan trauma yang menakutkan. Karena, dalam catatan sejarah Islam sendiri banyak peristiwa-peristiwa penting yang terjadi dibulan Safar, antara lain: 1) Berlangsungnya perkawinan Nabi Muhammad Saw dengan Khadijah binti Khuwalid, 2) Peperangan pertama yang diikuti Rasulullah Saw, yakni perang ‘Wudan’ atau ‘Abwa’ untuk menentang kekufuran, 3) Peperangan Zi-Amin dan Bi’ru Ma’unah yang terjadi pada tahun ke-3 dan ke-4 Hijriyah, dibawah pimpinan Al-Munzir bin ‘Amr As Sa’idiy, 4) Perang Khaibar terhadap orang-orang Yahudi, terjadi pada tahun ke-7 Hijriyah, 5) Peperangan Maraj Rahit pada tahun ke-13 Hijriyah di pinggiran kota Damaskus (Syiria) di bawah pimpinan Khalid bin Al-Walid, 6) Pelantikan ‘Abd. Rahman Al Ghafiqiy sebagai Gubernur Andalusia (Spanyol) pada thun 113 H, 7) Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (ulama besar Kalimantan) dilahirkan pada tanggal 15 Safar 1122 H, dan lain-lain. Dengan demikian bulan Safar tidak selalu identik dengan bulan kejelekan atau bulan kesialan.

Al-Quran dengan tegas menyatakan: “Katakanlah (wahai Muhammad), tidak sekali-kali akan menimpa kami sesuatu pun melainkan apa yang telah ditetapkan Allah bagi kami. Dialah pelindung yang menyelamatkan kami dan kepada Allah jualah hendaknya orang-orang yang beriman bertawakkal.” (QS. At-Taubah 51). Pada ayat yang lain: “Jika kamu ditimpa musibah, maka katakanlah “Innaalillahi wa Inaailaihi Raaji’uun”. Inilah sepatutnya yang menjadi pegangan umat Islam dalam memaknai bulan Safar dan hal-hal yang terjadi di dalamnya dengan  memperbanyak amal ibadah, dzikir, doa, sedekah, guna lebih mendekatkan diri kepada-Nya. Rasulullah Saw sendiri menamai bulan Safar sebagai bulan sunnah atau Safar Al-Khair. Waallahu A’lamu Bishowab